Sunday, April 14, 2013

Membabat Hutan, Memberangus Tradisi

(Catatan Perjalanan Di Pelosok Hulu Hutan Kalimantan).

Kerusakan hutan Kalimantan yang dipaparkan dalam bentuk statistik seakan-akan hanya menerangkan deretan angka-angka pada pembaca awam. Sebuah data yang jarang terpikir bahwa terdapat beragam cerita pilu di balik tirai angka-angka yang berjejer. Tentunya kita belum terlupa berita kematian 1 individu orangutan di Kalimantan Timur beberapa waktu lalu yang memicu berbondong empati singkat di negeri ini. Lalu bandingkan dengan statistik berikut; lebih 1500 orangutan rehabilitasi di Kalimantan Tengah menanti untuk dilepasliarkan.

Dapat dipastikan lebih banyak orang akan lebih ‘trenyuh’ dengan berita yang pertama. Sedangkan berita 1500 orangutan rehabiltasi itu jika lebih jeli akan juga tampak kisah yang tak kalah miris. Orangutan rehabilitasi adalah sebutan untuk orangutan hasil dari upaya resceu/penyelamatan. Tindakan merescue orangutan ini dilatarbelakangi beragam cerita. Misalnya rescue bayi orangutan yang induknya dibunuh pemburu, rescue terhadap orangutan yang tak bisa melarikan dari kebakaran hutan, rescue dari masyarakat yang memeliharanya 10 tahun di dalam kandang, dan cerita rescue lainnya. Nah kemudian bayangkan berapa banyak cerita pilu dari 1500 orangutan rehabilitasi? Tentunya lebih sembilu dari kematian 1 individu.

Atas kilah di atas, saya menulis catatan ini. Sebuah catatan perjalanan di hutan hulu Kalimantan Tengah yang tidak terdapat dalam angka statistik. Cerita tentang hutan, masyarakat sekitar hutan, perusahaan, dan nilai sebuah tradisi.

Kisah di satu desa hulu, bernama desa Bintang Mengalih. Secara administratif desa ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Jarak lebih dari 200 Km yang ditempuh dalam 6 jam dari kota Pangkalan Bun lewat jalur darat. Bukan hal yang mudah untuk mencapai desa ini. Kendaraan akan melaju mengiris jalan ribuan hektar kebun kelapa sawit, menanjak dan terguncang di lokasi jalur HPH, kemudian berkemudi dengan debu dari truk pengangkut biji besi.

Desa Bintang Mengalih adalah desa kecil dengan kira-kira dihuni 200 KK. Merupakan desa yang berpenduduk dari suku dayak, sebuah kondisi yang sulit kita jumpai di desa-desa Kalimantan karena telah terbaur dengan masyarakat transmigran. Saat lampau kegiatan masyarakatnya sangat bergantung dan berkaitan dengan hutan sekitar. Menjala dan memasang pengilar untuk ikan. Berburu pelanduk, babi, atau rusa. Mencari rotan untuk dianyam dan dibuat kerajinan. Mengambil kayu bakar lalu membakar lahannya untuk ditanami padi dengan cara menugal. Satu tradisi kental yang mulai luntur di waktu sekarang.

Entah bagaimana skenarionya, fakta yang terjadi adalah 30 tahun yang lalu desa ini dan hutan sekelilingnya dimasukan dalam HGU kepada satu perusahaan HPH. Tak hanya tentang nilai kayu hutan berdiameter besarnya saja, namun kekayaan dalam perut bumi pun juga memancing perusahaan yang mencium uang pada 10 tahun belakangan. Ya, biji besi! Mineral ini ikut ‘meramaikan’ desa Bintang Mengalih.

Keberadaan perusahaan HPH dan biji besi telah benar-benar perlahan namun akut menggeser tradisi kearifan lokal masyarakat desa Bintang Mengalih. Mereka (perusahaan) datang menawarkan dan mengajarkan bentuk kemakmuran baru kepada masyarakatnya. Listrik, penerangan, ponsel genggam, makanan instan berbalut plastik, sebut saja lainnya. Lalu warga terkecoh, terpukau, terpikat, terpikir ikut juga memiliki. Untuk memenuhinya diperlukan sejumlah uang yang lebih dari sekedar hasil menjual keranjang rotan, udang sungai, atau seekor babi hutan. Opsi mudah/instan yang terpampang dihadapan masyarakat ini tidak banyak. Yaitu, bergabung menjadi karyawan (buruh) dalam tubuh perusahaan. Mendapatkan penghasilan bulanan, yang sangat bernilai saat ini.

Lalu inilah yang terjadi. Masyarakat menjadi penonton di desa sendiri. Kekayaan alam diangkut dengan hanya perlu satu kali permisi. Pohon-pohon tegap roboh menjadi log-log kayu yang akan menjadi furniture di rumah kita. Digerowonginya perut bumi, dirogoh dalam-dalam hingga menjadi kubangan raksasa. Seperti jerawat di wajah bumi. Bijih-bijih besi ini menyumbang pasar ekspor Indonesia, tapi sejurus juga menghardik satwa-satwa liar untuk lari bersembunyi. Bersarang hutan-hutan sekunder yang semakin terdesak.

Aturan untuk mencuci bijih besi tidak dilakukan di sungai, hanya merupakan gurauan. Di hulu itu, titik suplai air untuk daerah hilir digunakan untuk mencuci biji besi. Melarutkan bahan-bahan kimia dan partikel logam. Sekarang tak banyak kita jumpai masyarakat yang menjala, memancing, atau memasang pengilar. Sungainya keruh, bahkan yang membentur batu-batu membentuk riak juga terlihat keruh dan tercium amis aroma besi.

Sekarang tak banyak lagi yang berburu. Karena tak banyak lagi binatang buruan, karena berburu hanyalah tentang keberuntungan, bukan penghasilan bulanan. Sekarang tak banyak lagi yang mencari ikan. Karena tak banyak lagi ikan yang ditangkap, dan karena menjual pasir sungai lebih mendatangkan untung cepat yang dijual per kubik kepada perusahaan. Sekarang tak banyak lagi yang bertani/berladang. Karena truk-truk perusahaan telah membawa karung-karung bulog dari kota yang siap masyarakat beli.

Demikianlah aktifitas membabat hutan, mau tidak mau ikut memberangus tradisi di desa Bintang Mengalih. Harga yang harus dibayar untuk menebus apa yang disebut kemakmuran’

Mungkin menulis catatan yang bukan statistik ini, saya tidak berhasil memilih sentimentil kata yang menarik. Tapi semoga saja dengan catatan ini kita ikut tergugah bersama, melahirkan energi yang kuat dan baik. Bukan energi terlalu berisik menghujat dan protes terhadap kematian 1 individu orangutan.

Hutan adalah sumber kehidupan tak tergantikan. Jika hutan hilang, kemana lagi manusia menggantungkan hidupnya?

Salam lestari.

0 comments:

Post a Comment